Kurtilas tanpa TIK
Nama : Satrio Sadrakh Allesandro
NPM : 140810160038
NPM : 140810160038
Setelah direvisi
sedemikian rupa, kurikulum 2013 (kurikulum dua ribu tiga belas atau disingkat
kurtilas) sudah diimplementasikan oleh banyak sekolah, khususnya sekolah
menengah tinggi, di Indonesia. Kurikulum ini lebih menuntut siswa untuk menjadi
aktif, kreatif, dan inovatif terhadap berbagai permasalahan yang ada. Selain
itu, terdapat pula pendidikan karakter dan budi pekerti, yang semuanya
memanglah hal yang baik. Namun, pelajaran TIK (Teknologi Informasi Komunikasi)
dan/atau KKPI (Keterampilan Komputer dan Pengelolaan Informasi) dipindah
fungsinya dengan tidak menjadi mata pelajaran sendiri. Jam pelajaran yang dipakai
untuk mata pelajaran TIK/KKPI diganti untuk mata pelajaran yang lain.
Memang pelajaran
TIK/KKPI dapat terintregasi dengan mata pelajaran yang lainnya dan pembelajaran
sendiri sudah seharusnya berbasis TIK (alat bantu guru dalam mengajar), bukan
TIK/KKPI sebagai mata pelajaran khusus yang harus diajarkan, namun pembelajaran
abad 21 telah mengarah sebagai alat bantu guru dalam mengajar dengan TIK
sebagai sebuah mata pelajaran adalah dua hal yang berbeda. Ketika TIK/KKPI
bukan lagi sebagai mata pelajaran sendiri, maka dapat terjadi misalnya saja
ketika guru bahasa Indonesia memberi tugas kepada siswa untuk membuat laporan,
di samping mengajarkan teorinya tentang bentuk-bentuk laporan, guru juga harus
mengajarkan bagaimana cara mengetik dan membuat laporan tersebut di komputer.
Sekarang, guru TIK mengajarkan anak-anak cara mengetik di program pengolah kata
(misalnya Microsoft Word) dan sebagai bahannya bisa berupa laporan yang dicari
siswa di internet. Singkat kata pelajaran bahasa Indonesia secara keilmuan juga
tidak diperlukan lagi.
Di lain pihak,
guru-guru profesional TIK dapat terancam pekerjaannya. Tidak hanya guru,
mahasiswa jurusan pendidikan TIK (calon guru komputer) terancam oleh potensi
menjadi pengangguran dan terjadinya “aborsi massal”. Hal inilah yang
berpengaruh pada perkembangan teknologi di Indonesia dan juga prodi dalam
lingkup departemen ilmu komputer, atau di Unpad, yaitu prodi Teknik
Informatika. Tentu saja jumlah peminat akan berkurang, namun yang lebih penting
adalah berkurangnya minat siswa pada sains komputer. Siswa akan lebih berfokus
pada sains terapan komputer, di mana yang diutamakan adalah fungsi praktisnya.
Hal ini memang tidaklah buruk, namun itu juga berarti mengorbankan sains murni
demi sains terapan dalam bidang komputer. Hal seperti itu bukanlah hal yang
baik, karena pertumbuhan sains terapan sangat bergantung pada sains murni,
seperti pertumbuhan bunga dan buah yang bergantung pada dahan, batang, dan akar
tanaman. Ketimpangan satu bagian hanya akan memperburuk situasi. Dengan kata
lain, jika perkembangan sains murni berjalan dengan lambat, maka “bangkit
teknologi Indonesia” hanyalah jargon semata, tidak lebih.
Terakhir, mungkin
ketidakadaannya mata pelajaran TIK di kurikulum 2013 belum menunjukkan dampak
yang signifikan, namun hal ini berpotensi menjadi masalah suatu hari nanti.
Oleh karena itu, tidak ada solusi yang lebih baik selain mengembalikan mata
pelajaran TIK pada revisi kurikulum selanjutnya.
Tidak ada komentar: